Ketahanan Pangan perlu leadership
VIVAnews – Persoalan pangan adalah masalah yang sangat penting, bukan hanya pada saat sekarang, tetapi pada masa-masa mendatang. Bahkan, tidak sedikit para pemimpin bangsa yang mengingatkan betapa pentingnya pangan dalam kehidupan umat manusia.
Presiden Soekarno ketika meletakkan batu pertama pembangunan kampus IPB pada tahun 1952 mengingatkan bahwa persoalan persediaan pangan bagi bangsa Indonesia merupakan “soal hidup atau mati”.
Jawaharial Nehru, salah satu pemimpin besar India, juga pernah mengatakan:
“Everything can wait, not agriculture. First of all, obviously, we must have enough food. Secondly, other necessities … “.
Walaupun banyak pemimpin di dunia telah mengingatkan pentingnya ketahanan pangan, tetapi sayangnya berdasarkan data FAO yang terbaru, di dunia masih terdapat lebih dari 1 miliar penduduk (hampir 1/6 penduduk dunia) menghadapi masalah kekurangan pangan dan kemiskinan.
Kenaikan jumlah penduduk yang kekurangan pangan yang signifikan dibandingkan tahun lalu (kenaikan sekitar 105 juta) dikarenakan krisis kembar, yakni krisis finansial dan harga pangan yang meningkat tajam.
Himpunan Alumni IPB dalam “Diskusi Blak-blakan Soal Ketahanan Pangan di Indonesia” berpandangan bahwa ketahanan pangan bukan hanya urusan beras, tetapi meliputi manajemen: ketersediaan pangan, akses pangan, stabilitas (harga) dan distribusi pangan, serta utilitas dan keamanan pangan.
Dalam jangka pendek, peningkatan produksi pangan dan perbaikan sistem produksi wajib menjadi prioritas utama strategi kebijakan pangan pemerintah. Manajemen stok pangan dan stabilitasi harga pangan, terutama yang bersifat strategis, tetap perlu menjadi prioritas.
Upaya Indonesia untuk mulai memikirkan “feeding the world” patut dihargai, tentunya tanpa melupakan manajemen cadangan pangan dalam negeri. Upaya pengamanan stok pangan dalam negeri harus tetap menjadi prioritas kebijakan ketahanan pangan Indonesia.
Misalnya, surplus produksi beras baru dapat dikatakan aman jika telah terbukti stabil di atas 3 juta ton secara riil dan berkelanjutan sepanjang tahun, bukan sekadar 1 juta ton seperti perkiraan saat ini.
Pengendalian harga keseimbangan beras di dalam negeri tetap perlu menjadi perhatian seluruh pengampu kepentingan, karena relatif tingginya harga beras pada pembentukan laju inflasi nasional.
Melonjaknya laju inflasi pada Januari 2010 adalah pengalaman berharga dari manajemen stok pangan pokok yang juga sangat berhubungan dengan tekanan permintaan beras dari kelompok rumah tangga miskin dan menengah. Apabila penyaluran beras pada kelompok miskin cukup lancar, maka rumah tangga miskin ini cukup mengandalkan pasokan beras dari beras subsidi (pada Program Raskin).
Namun, ketika penyaluran Raskin terhambat karena persoalan birokrasi di tingkat pusat, kelompok miskin (dan menengah) justru terpaksa harus membeli beras secara komersial. Pada siklus berikutnya, tambahan tekanan permintaan beras ini–-apalagi pada kondisi stok beras yang kritis–justru menyebabkan lonjakan harga beras.
Peningkatan produksi dan produktivitas pangan lain seperti jagung dan kedelai juga perlu menjadi prioritas, misalnya dengan memberikan keleluasaan bagi sektor swasta untuk mulai bermitra dengan petani jagung dan kedelai.
Penjaminan dan kepastian harga adalah salah satu insentif untuk meningkatkan produksi dan produktifitas. Akses terhadap teknologi baru, benih unggul, serta ketersediaan irigasi tidak akan berlangsung seperti diharapkan manakala harga yang diterima petani tidak memadai.
Dua komoditas pangan ini (jagung dan kedelai) memiliki keterkaitan erat dengan sektor industri manufaktur bidang pangan yang mampu menyerap tenaga kerja banyak, serta dengan sektor pangan lain, seperti peternakan yang menghasilkan sumber protein, gizi, energi dan vitamin.
Berkaitan dengan hal ini, Indonesia harus memiliki tiga kewaspadaan dalam menghadapiketahanan pangan nasional pada masa-masa mendatang. Pertama, instabilitas komoditas pangan saat ini yang bersumber dari pasar internasional. Hal itu terlihat pada naik-turunnya harga komoditas yang lebih dipicu permainan para hedge fund tingkat dunia. Artinya, saat ini perdagangan komoditas sudah sedemikian canggih, harga bisa berubah hanya dalam sehari, karena yang terjadi sebagaian besar hanya perpindahan kontrak komoditas saja, bukan perdagangan komoditas riilnya.
Kedua, ketidakpastian dan perubahan iklim.
Ketiga, Indonesia saat ini mengalami lack of investment di bidang pangan dan pertanian. Indonesia membutuhkan investasi di bidang pertanian dan pangan. Investasi tidak hanya terbatas pada pembangunan pabrik, tapi juga di bidang penelitian, serta pembangunan irigasi.
Catatan tentang pangsa penyerapan KUR di sektor pertanian yang hanya 22 persen pada tahun 2009, tentu terlalu kecil untuk dibandingkan dengan pangsa penyerapan KUR di sektor perdagangan yang mencapai 63 persen. Skema pembiayaan dengan penjaminan kredit seperti KUR ini juga diharapkan dapat mencegah penurunan kapasitas sistem produksi pangan dan industri secara umum.
Dalam hal manajemen input pertanian yang sangat strategis (seperti pupuk dan benih), pemerintah semestinya memberikan kepastian hukum “property rights” terhadap tanah yang dimiliki. Sertifikat tanah tidak hanya memberikan kepastian untuk aman mengusahakannya tapi juga dapat digunakan untuk mengakses kredit perbankan.
Penggunaan pupuk sebagai input pertanian kini telah berubah, dibandingkan dengan pada awal Revolusi Hijau dulu. Oleh karena itu, esensi subsidi pupuk kini telah semakin berubah, bukan tentang adopsi teknologi baru, tapi lebih kepada strategi pemihakan dan langkah afirmatif manajemen risiko bagi petani miskin.
Ketersediaan pupuk harus dipastikan mencukupi kebutuhan bahkan dapat diekspor. Bila ketersediaan pupuk mencukupi dan distribusinya dapat dijaga kelancarannya, maka persoalan pupuk mudah-mudahan tinggal menjadi sejarah.
Untuk tercapainya hal tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memperbaiki aransemen kelembagaan dari sistem produksi, distribusi, sistem harga, dan mekanisme subsidi pupuk.
Tidak hanya untuk pupuk, namun juga untuk input lainnya yang hingga saat ini masih perlu diberikan kebijakan imperatif, upaya-upaya seperti ini merupakan keharusan. Dan semua ini mensyaratkan suatu policy leadership yang berwibawa, sistem akuntabilitas, responsibilitas dan kualitas governansi yang lebih baik.
Dalam jangka menengah-panjang. Peningkatan produksi, produktifitas dan nilai tambah pangan strategis dalam jangka menengah-panjang perlu lebih banyak berbasiskan aplikasi teknologi baru, varietas baru, termasuk benih hibrida dan produk bioteknologi yang dihasilkan yang semuanya melalui proses panjang.
Indonesia perlu lebih banyak mengutamakan kemitraaan yang setara antar stakeholders (public-private partnership) antara sektor swasta, pemerintah, perguruan tinggi dan elemen masyarakat madani dalam mengelola sistem nilai tambah (value chain system) yang menciptakan pertumbuhan berkualitas, tidak hanya mengedepankan aspek pertumbuhan tetapi juga pemerataan.
Strategi diversifikasi pangan harus dilakukan secara lebih serius, untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras, yang saat ini sangat tinggi dan sering mempengaruhi tekanan permintaan terhadap beras. Langkah awal dapat dimulai dengan pengembangan sumber pangan lokal, eksotik, bernilai ekonomi tinggi, mengandung protein, vitamin dan bergizi baik.
Kampanye ”makan ikan” dan ”minum susu” akan mampu memperbaiki kecukupan protein, energi dan vitamin, yang dapat saja mengurangi tekanan konsumsi terhadap bahan karbohidrat seperti beras yang sangat sensitif secara ekonomi dan politik.
Kemudian, pengindustrian pangan lokal harus memperoleh dukungan kebijakan yang memadai, mulai dari skema pembiayaan, insentif perpajakan, dan kemudahan lainnya.
Last but not the least, peningkatan daya saing, produksi dan produktivitas pangan tidak hanya ditentukan oleh persoalan “on farm” saja, tetapi juga persoalan-persoalan “beyond farm gate”yang sering kali malah lebih penting dibandingkan persoalan-persoalan yang terjadi di tingkat“on farm”.
Mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, produktivitas dan daya saing tersebut bersifat multi dimensi, maka kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkannya tidak dapat ditangani secara parsial, tetapi harus terintegrasi dengan skema kebijakan makroekonomi dan kelembagaan publik yang lebih luas.
Kebijakan yang holistik ini memerlukan semangat konvergensi nasional. Konvergensi nasional memiliki arti sebagai upaya mengarahkan seluruh energi bangsa yang mencakup potensi pikiran, kekuatan dan waktu untuk mewujudkan satu cita-cita, satu tujuan dari seluruh stake holders pembangunan pertanian dan industri pangan yang lebih berdaya saing, berkeadilan, berkedaulatan dan berkelanjutan.
Terkait dengan persoalan besar ketahanan pangan ini, Himpunan Alumni IPB dan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) memberi rekomendasi kepada pemerintah, dunia usaha, para petani, dan masyarakat pada umumnya:
Pertama, untuk mengantisipasi instabilitas komoditas pangan yang bersumber dari pasar internasional, para diplomat Indonesia di luar negeri dapat berperan menjadi ujung tombak memperoleh informasi awal mengenai semua kejadian dan policy di negara yang bersangkutan yang dapat mempengaruhi gejolak harga pangan.
Kedua, Indonesia harus tegas mendahulukan pencapaian swasembada dalam negeri baru berorientasi ekspor. Namun di sisi lain, target unt melakukan ekspor dapat menjadi pendorong bagi pencapaian swasembada dalam negeri.
Ketiga, Indonesia harus melakukan investasi besar-besaran terkait pertanian, yaitu yang terkait dengan irigasi pedesaan, jalan desa, listrik desa, industri pupuk, riset, pengembangan sumber daya dan rehabilitasi sumber sumber daya alam. Total investasi yang dibutuhkan untuk mengamankan ketahanan pangan jangka menengah mencapai Rp 270 triliun.
Keempat, ketahanan pangan harus menjadi indikator kinerja utama bagi berbagai kementerian selain Kementerian Pertanian, serta bagi pemerintah daerah ( sumber :Vivanews).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar